Rabu, 30 Maret 2011

KODE ETIK KEBIDANAN

SECARA UMUM KODE ETIK TERSEBUT BERISI 7 BAB YAITU:


1. Kewajiban bidan terhadap klien dan masyarakat (6 butir)

1). Setiap bidan senantiasa menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah jabatannya dalam melaksanakan tugas pengabdiannya.

2). Setiap bidan dalam menjalankan tugas profesinya menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan yang utuh dan memelihara citra bidan.

3). Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa berpedoman pada peran, tugas dan tanggungjawab sesuai dengan kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat.

4). Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya mendahulukan kepentingan klien, menghormati hak klien dan menghormati nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.

5). Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa mendahulukan kepentingan klien, keluarga dan masyarakat dengan identitas yang sama sesuai dengan kebutuhan berdasarkan kemampuan yang dimilikinya.

6). Setiap bidan senantiasa menciptakan suasana yang serasi dalam hubungan pelaksanaan - tugasnya, dengan mendorong partisipasi masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatannya secara optimal.


2. Kewajiban bidan terhadap tugasnya (3 butir)

1). Setiap bidan senantiasa memberikan pelayanan paripurna terhadap klien, keluarga dan masyarakat sesuai dengan kemampuan profesi yang dimilikinya berdasarkan kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat.

2). Setiap bidan berhak memberikan pertolongan dan mempunyai kewenangan dalam mengambil keputusan dalam tugasnya termasuk keputusan mengadakan konsultasi dan atau rujukan.

3). Setiap bidan harus menjamin kerahasiaan keterangan yang dapat dan atau dipercayakan kepadanya, kecuali bila diminta oleh pengadilan atau dipedukan sehubungan kepentingan klien.


3. Kewajiban bidan terhadap sejawat dan tenaga kesehatan lainnya (2 butir)

1). Setiap bidan harus menjalin hubungan dengan teman sejawatnya untuk menciptakan suasana kerja yang serasi.

2). Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya harus saling menghormati baik terhadap sejawatnya maupun tenaga kesehatan lainnya.


4. Kewajiban bidan terhadap profesinya (3 butir)

1). Setiap bidan harus menjaga nama baik dan menjunjung tinggi citra profesinya dengan menampilkan kepribadian yang tinggi dan memberikan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat.

2). Setiap bidan harus senantiasa mengembangkan did dan meningkatkan kemampuan profesinya seuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

3). Setiap bidan senantiasa berperan serta dalam kegiatan penelitian dan kegiatan sejenis yang dapat meningkatkan mute dan citra profesinya.



5. Kewajiban bidan terhadap diri sendiri (2 butir)

1). Setiap bidan harus memelihara kesehatannya agar dapat melaksanakan tugas profesinya dengan baik.

2). Setiap bidan harus berusaha secara terus menerus untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.


6. Kewajiban bidan terhadap pemerintah, bangsa dan tanah air (2 butir)

1). Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya, senantiasa melaksanakan ketentuanketentuan pemerintah dalam bidang kesehatan, khususnya dalam pelayanan KIA/KB dan kesehatan keluarga dan masyarakat.

2). Setiap bidan melalui profesinya berpartisipasi dan menyumbangkan pemikirannya kepada pemerintah untuk- meningkatkan mutu jangakauan pelayanan kesehatan terutama pelayanan KIA/KB dan kesehatan keluarga.


7. Penutup (1 butir)

Setiap bidan dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari senantiasa menghayati dan mengamalkan Kode Etik Bidan Indonesia.

Selasa, 29 Maret 2011

Meredakan Kelelahan Setelah Melahirkan

Proses persalinan membuat ibu letih luar biasa, pijat salah satu cara untuk meredakan kelelahan setelah melahirkan, pijat bisa mengurangi tumpukan rasa capai sehingga ibu bisa kembali rilek, Tetapi ingat perut jangan dipijat karena setelah persalinan perut masih menjalani proses recovery.


Yang direkomendasikan untuk perut adalah latihan yang dilakukan untuk mengecilkan perut, misalnya mengerutkan perut hinga semampunya, cara lain adalah posisi tidur terlentang dengan dua kaki ditekuk, lantas angkat kepala sedikit saja. Gerakan lain seperti posisi tidur setengah bangun lantas posisi tubuh miring kekiri dan ke kanan, seperti gerakan mencium lutut. begitu yang direkomendasikan oleh Fisioterapis Siloam Hospitals Surabaya Niniek Soetini SSt Ft.

Tetapi ibu harus berhati hati dalam melakukan gerakan, karena kondisi tubuh ibu belum prima. Jumlah latihan harus disesuaikan dengan kemampuan tubuh.

Jadi pijat setelah melahirkan boleh boleh saja , yang penting hindari pemijatan di bagian perut.
Semoga Bermanfaat dan Jabat Erat Selalu

Sumber Jawa Pos

Senin, 28 Maret 2011

Islam Menghargai Keragaman

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS al-Hujarat [49]:13).

Keragaman adalah sunnatullah yang tidak bisa kita ingkari. Ayat dalam Surat al-Hujarat di atas meneguhkan hal itu. Kita diciptakan Allah bukan dalam keseragaman, tapi dalam keragaman dan perbedaan, baik berbeda dalam hal suku, bangsa, bahasa, warna kulit, agama, keyakinan, dan lain sebagainya. Dari perbedaan itu, Allah memerintahkan agar kita saling mengenal dan mengasihi, bukan untuk saling memusuhi.

Sejarah dan perjalanan hidup Nabi Muhammad telah menegaskan semangat kerukunan dan kasih sayang, seturut dengan ayat al-Qur’an di atas. Sebagaimana diketahui, sebelum Islam datang, di Arab telah berkembang bermacam agama dan kepercayaan yang berbeda, seperti Yahudi, Kristen, Majusi, Zoroaster dan Shabi’ah. Dan ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, di sana juga sudah ada beragam agama yang dianut, dimana yang terbesar adalah Yahudi dan Kristen. Bahkan, di Madinah, Nabi Muhammad tidak hanya menemukan keragaman agama, tetapi juga keragaman suku dan adat istiadat.

Sebagaimana ayat tersebut di atas, sikap Nabi Muhammad dalam menghadapi keragaman suku dan agama di Madinah bukan dengan memusuhi, tetapi dengan saling menghargai, menghormati, bahkan saling melindungi. Hal ini dapat kita saksikan dari dokumen penting yang terkenal dengan sebutan Piagam Madinah. Dari dokumen ini diketahui bahwa Islam mengajarkan kita untuk saling menghormati, bukan hanya kepada sesama umat Islam, tetapi juga kepada mereka yang berbeda agama dan keyakinan.

Salah satu paragraf dalam Piagam Madinah itu adalah sebagai berikut: “Jika seorang pendeta atau pejalan kaki berlindung di gunung atau lembah atau gua atau bangunan atau dataran raml atau Radnah (nama sebuah desa di Madinah) atau gereja, maka Aku (Nabi Muhammad) adalah pelindung di belakang mereka dari setiap permusuhan terhadap mereka demi jiwaku, para pendukungku, para pemeluk agamaku dan para pengikutku, sebagaimana mereka (kaum Nashrani) itu adalah rakyatku dan anggota perlindunganku”.

Hal yang sama juga dilakukan oleh khalifah kedua Umar ibn Khattab ketika Islam menguasai Yerusalem, dimana sebagian besar penduduknya beragama non-Islam. Beliau, sebagai penguasa, membuat sebuah undang-undang yang salah satu isinya adalah sebagai berikut: “Inilah jaminan keamanan yang diberikan Umar Amirul Mukminin kepada penduduk Aelia: Ia menjamin keamanan mereka untuk jiwa dan harta mereka, dan untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka, dan dalam keadaan sakit maupun sehat, dan untuk agama mereka secara keseluruhan. Gereja-gereja mereka tidak akan diduduki dan tidak pula dirusak, dan tidak akan dikurangi sesuatu apa pun dari gereja-gereja itu dan tidak pula dari lingkungannya, serta tidak dari salib mereka, dan tidak sedikit pun dari harta kekayaan mereka. Mereka tidak akan dipaksa meninggalkan agama mereka, dan tidak seorang pun dari mereka boleh diganggu”.

Dari petikan sejarah di atas dapat dikatakan bahwa doktrin Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin bukanlah slogan yang tanpa bukti. Praktek kehidupan Nabi dan sahabat telah membuktikan itu. Nabi datang dan diutus Allah dengan membawa kabar gembira bagi seluruh alam, bukan hanya kepada golongan tertentu saja.

Sebagai pembawa agama yang rahmatan lil’alamin, Nabi Muhammad adalah orang yang paling beradab dan penuh kasih sayang. Beliau, sebagaimana Hadits shahih yang diriwayatkan oleh sahabat Abdullah Ibn ‘Umar, adalah pribadi yang tidak kasar dan tidak pernah melampaui batas, tidak kaku, tidak bengis, tidak suka bersuara keras di pasar, dan tidak membalas keburukan dengan keburukan melainkan memaafkan dan mengampuni.

Sabda Nabi, “ Inna khiyaarakum ahsanukum akhlaaqan,” yang artinya: Sesungguhnya orang-orang terbaik di antara kalian ialah mereka yang berakhlak paling baik. Dan sabda Nabi Muhammad yang lain, “Almuslimu man salimal muslimuun min lisaanihi wayadihi,” yang berarti: Muslim sejati ialah orang yang menjaga lisan dan tangannya sehingga orang-orang muslim lain selamat dari daripadanya.

Karena itu, dalam rangka memperjuangkan prinsip yang semulia apapun, hendaklah kita tetap mengedepankan sikap tidak berlebih-lebihan, sikap kearifan dan kesantunan seperti yang diajarkan dan dicontohkan oleh Pemimpin agung kita, Nabi Muhammad SAW. Tidak justru mengikuti cara-cara munkar yang seharusnya kita cegah. Semangat membela Islam dan amar makruf nahi munkar, mestilah dilakukan dengan cara-cara yang Islami.

Dalam kitabnya yang terkenal, Ihya’ ‘Ulumuddin, Imam Ghazali menjelaskan tahapan-tahapan bagi mereka yang akan melaksanakan perintah nahi munkar. Pertama adalah dengan cara memberi penjelasan, karena bisa jadi orang tersebut melakukan kemunkaran lantaran dia tidak mengetahui apa yang telah ia perbuat. Tahapan kedua adalah dengan cara memberi nasehat yang baik dan menakut-nakutinya akan siksa di akhirat nanti. Tahapan ketiga adalah dengan melarang secara tegas, tetapi tetap harus dengan menghindari kata-kata yang kasar dan tidak sopan. Ini dilakukan apabila cara-cara yang lemah lembut sudah tidak membekas lagi. Sedangkan tahapan terakhir adalah dengan cara kekuasaan dan pemaksaan.

Namun demikian, Imam Ghazali mewanti-wanti bahwa tahapan yang terakhir, yaitu dengan cara kekuasaan yang disertai dengan pemaksaan, hanya dapat dilakukan oleh negara melalui aparaturnya. Selain itu, tindakan ini juga harus berlandaskan undang-undang yang ada. Adapun masyarakat biasa, yaitu warga sipil yang bukan aparatur pemerintah, sama sekali tidak memiliki hak untuk melakukan pemaksaan, pengrusakan, dan tindakan-tindakan kekerasan lainnya. Dengan demikian hukum berdiri tegak dan kehidupan berjalan teratur.

Karena itu, kita yang ditakdirkan hidup di bumi Indonesia sudah seharusnya mensyukuri kekayaan keragaman yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada kita. Keragaman suku, budaya, bahasa, adat istiadat, warna kulit, agama, kepercayaan, dll adalah anugerah dan rahmat Allah yang harus senantiasa kita jaga dan pelihara. Hal ini bukan hanya karena pemeliharaan dan penghargaan terhadap keragaman ini akan membuat bangsa dan negara kita menjadi besar dan disegani, akan tetapi penghargaan dan pemeliharaan ini adalah perintah Allah dan Nabi Muhammad, sebagaimana al-Qur’an dan as-Sunnah telah menegaskan hal itu.

Dan penghargaan terhadap keragaman ini dapat mulai kita praktekkan dalam lingkup kehidupan yang kecil dan sederhana yaitu bertetangga. Dalam bertetangga, Islam mengajarkan kita untuk menghormati siapapun tetangga kita, baik mereka itu seagama, sesuku, dan sama warna kulitnya, maupun mereka itu berbeda agama, berbeda suku, dan berbeda warna kulitnya. Nabi Muhammad bersabda, “Siapapun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya memuliakan tetangganya.” Di sini Nabi tidak merinci tetangga dengan sifat-sifat tertentu; yang berarti siapapun tetangga kita, dari manapun asal-usulnya, dan apapun agama dan kepercayaannya, harus selalu kita hormati dan hargai. Wallahu a’lamu bis shawab.